KAIRO - Malam Jum’at (21/13) sekretariat PCINU Mesir yang berada di daerah
Gamie, distrik 10, Madinat Nasr, Kairo, kedatangan tamu dari negeri
Sakura, Jepang. Pria asal Purworejo itu bernama Dr Aziz Muhammad,
anggota Nahdliyin yang sekarang menjadi asisten dosen di Universitas
bergengsi di Jepang, yaitu Institut Teknologi Tokyo.
Tidak hanya kedatangan tamu dari Jepang, sekretariat juga dikunjungi oleh sesepuh Nahdliyin, Abdul Basith MA, yang sekarang menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel di Surabaya dan aktif di Lajnah Falakiyah NU Jawa Timur.
Acara juga dihadiri oleh sesepuh syuriyah, Mahmudi, A’wan, Oyi, Ketua Tanfiziyah periode sebelumnya, Tabrani Basya, Ketua Tanfiziyah periode sekarang, Khozin Dipo, dan segenap warga Nahdliyin Mesir serta anggota Fatayat NU Mesir.
Kedatangan kedua tamu istimewa itu bertepatan dengan acara mingguan Lailatul Ijtima’, agenda yang memuat acara tahlilan, baca surah Yasin, dan mau’izah hasanah.
Setelah membaca surat Yasin bersama dan tahlilan, acara langsung dilanjutkan dengan mauidhah hasanah dan sharing pengalaman dari kedua tamu.
Abdul Basith langsung membincang isu-isu hangat yang kini terjadi di Indonesia. Ia juga mengajak warga Nahdliyin untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi isu-isu tersebut, baik secara teknis, maupun teoritis.
Abdul Basith membahas soal thariqoh, yang merupakan jalan tazkiyah, atau menyucikan diri untuk menuju Allah. Ia juga mengajak agar nahdliyin mengikuti salah satu thariqoh yang berada dalam lingkungan NU sehingga tidak hanya keilmuan saja yang digeluti, namun dimensi rohani juga demikian.
Abdul Basith mengecam mahasiswa-mahasiswa ‘pendatang baru’ yang lancang mengusir pengajian yang diampu dosen-dosen yang notabene berbeda haluan dengan mereka. Dosen di universitas bergengsi di Surabaya itu juga menyinggung sedikit perihal maqashid syari’ah yang tidak sembarangan diterapkan oleh para ulama.
Wejangan selanjutnya disampaikan oleh Dr Aziz Muhammad, Nahdliyin asal Jawa yang sekarang tengah meniti karirnya di negeri Sakura. ilmuwan sekaligus ketua tanfidziyah NU Jepang tersebut membeberkan pengalamannya selama di Jepang. Asdos muda itu juga memberikan gambaran tentang Jepang, baik dari sisi budaya, pendidikan, agama, dan hukum setempat.
Menurut Aziz, yang sangat dikaguminya tentang Jepang adalah prinsip bushido-nya, yang secara literal berarti “jalan pahlawan”. Warga Jepang sangat tidak ingin mengecewakan orang lain. Menurut orang Jepang, lebih baik mengundurkan diri atau bunuh diri saja jika tidak bisa berbuat hal yang bermanfaat.
Agama kebanyakan warga Jepang adalah Shinto, yang berarti “Jalan Tuhan”. Tetapi cara beragama Jepang terbilang unik,” jelas Aziz. Semua warga di Jepang bisa menjadi “tuhan”, dengan syarat berprestasi tinggi dan memiliki kedudukan yang membanggakan, seperti cerita seorang yang ahli destilasi di Universitas Kyoto, yang mengklaim ingin menjadi tuhannya Destilasi.
Selain Shinto, Budha dan Kristen juga banyak dipeluk oleh warga Jepang. Tetapi, uniknya, warga Jepang bisa saja lahir beragama Shinto, tetapi ketika nikah, mereka akan ke gereja, dan nanti dimakamkan sebagai penganut Budha.
Untuk Islam, menurut Aziz, warga muslim di Jepang terbilang sangat sedikit dan minoritas. Warga muslim di sana juga kadang mendapatkan kesulitan ketika harus berbenturan dengan hukum setempat, seperti penguburan dengan dipendam tanah.
Warga Jepang sangat antipati dikubur di dalam tanah. Ketika orang Jepang meninggal, dagingnya dijadikan abu dan dihanyutkan di sungai, sementara tulangnya akan disimpan di dalam kotak, lalu diletakkan di kuburannya. Lucunya, alasan mereka tidak mau dikubur dalam tanah hanya simpel, yaitu masalah higienis dan kebersihan.
Tidak hanya kedatangan tamu dari Jepang, sekretariat juga dikunjungi oleh sesepuh Nahdliyin, Abdul Basith MA, yang sekarang menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel di Surabaya dan aktif di Lajnah Falakiyah NU Jawa Timur.
Acara juga dihadiri oleh sesepuh syuriyah, Mahmudi, A’wan, Oyi, Ketua Tanfiziyah periode sebelumnya, Tabrani Basya, Ketua Tanfiziyah periode sekarang, Khozin Dipo, dan segenap warga Nahdliyin Mesir serta anggota Fatayat NU Mesir.
Kedatangan kedua tamu istimewa itu bertepatan dengan acara mingguan Lailatul Ijtima’, agenda yang memuat acara tahlilan, baca surah Yasin, dan mau’izah hasanah.
Setelah membaca surat Yasin bersama dan tahlilan, acara langsung dilanjutkan dengan mauidhah hasanah dan sharing pengalaman dari kedua tamu.
Abdul Basith langsung membincang isu-isu hangat yang kini terjadi di Indonesia. Ia juga mengajak warga Nahdliyin untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi isu-isu tersebut, baik secara teknis, maupun teoritis.
Abdul Basith membahas soal thariqoh, yang merupakan jalan tazkiyah, atau menyucikan diri untuk menuju Allah. Ia juga mengajak agar nahdliyin mengikuti salah satu thariqoh yang berada dalam lingkungan NU sehingga tidak hanya keilmuan saja yang digeluti, namun dimensi rohani juga demikian.
Abdul Basith mengecam mahasiswa-mahasiswa ‘pendatang baru’ yang lancang mengusir pengajian yang diampu dosen-dosen yang notabene berbeda haluan dengan mereka. Dosen di universitas bergengsi di Surabaya itu juga menyinggung sedikit perihal maqashid syari’ah yang tidak sembarangan diterapkan oleh para ulama.
Wejangan selanjutnya disampaikan oleh Dr Aziz Muhammad, Nahdliyin asal Jawa yang sekarang tengah meniti karirnya di negeri Sakura. ilmuwan sekaligus ketua tanfidziyah NU Jepang tersebut membeberkan pengalamannya selama di Jepang. Asdos muda itu juga memberikan gambaran tentang Jepang, baik dari sisi budaya, pendidikan, agama, dan hukum setempat.
Menurut Aziz, yang sangat dikaguminya tentang Jepang adalah prinsip bushido-nya, yang secara literal berarti “jalan pahlawan”. Warga Jepang sangat tidak ingin mengecewakan orang lain. Menurut orang Jepang, lebih baik mengundurkan diri atau bunuh diri saja jika tidak bisa berbuat hal yang bermanfaat.
Agama kebanyakan warga Jepang adalah Shinto, yang berarti “Jalan Tuhan”. Tetapi cara beragama Jepang terbilang unik,” jelas Aziz. Semua warga di Jepang bisa menjadi “tuhan”, dengan syarat berprestasi tinggi dan memiliki kedudukan yang membanggakan, seperti cerita seorang yang ahli destilasi di Universitas Kyoto, yang mengklaim ingin menjadi tuhannya Destilasi.
Selain Shinto, Budha dan Kristen juga banyak dipeluk oleh warga Jepang. Tetapi, uniknya, warga Jepang bisa saja lahir beragama Shinto, tetapi ketika nikah, mereka akan ke gereja, dan nanti dimakamkan sebagai penganut Budha.
Untuk Islam, menurut Aziz, warga muslim di Jepang terbilang sangat sedikit dan minoritas. Warga muslim di sana juga kadang mendapatkan kesulitan ketika harus berbenturan dengan hukum setempat, seperti penguburan dengan dipendam tanah.
Warga Jepang sangat antipati dikubur di dalam tanah. Ketika orang Jepang meninggal, dagingnya dijadikan abu dan dihanyutkan di sungai, sementara tulangnya akan disimpan di dalam kotak, lalu diletakkan di kuburannya. Lucunya, alasan mereka tidak mau dikubur dalam tanah hanya simpel, yaitu masalah higienis dan kebersihan.
Aziz juga mengkomparasikan antar Jepang dengan negara-negara lain,
seperti China, Eropa, Amerika, tidak lupa Indonesia. Menurutnya, warga
Jepang sangat memegang prinsip experience based, dan tidak hanya
berhenti dalam tataran teori, berbeda dengan warga Muslim, yang dalam
hal empiris dan teknis sangat minim sekali skill dan pengalamannya. Dan ini menjadi tantangan muslim sekarang, terkhusus warga Nahdliyin.
Menyinggung NU di Jepang sana, asdos yang sekaligus memiliki paten pembuat alat pembuluh darah dan fokus di bidang konversi energi termodinamika tersebut mengatakan bahwa geliat warga Nahdliyin di sana sempat ramai pada tahun 2007-an. Pengajian juga seringnya menggunakan basis online, mengingat warga Nahdliyin tinggal berjauhan.
Setelah ngobrol dan sharing pengalaman, acara ditutup dengan pemberian piagam kepada kedua tamu. Kini warga Nahdliyin harus memikul tugas yang lebih berat, yaitu tidak hanya berkutat pada bidang teori, tetapi juga pada dimensi praktis dan berbasis pengalaman serta pengetahuan.
Menyinggung NU di Jepang sana, asdos yang sekaligus memiliki paten pembuat alat pembuluh darah dan fokus di bidang konversi energi termodinamika tersebut mengatakan bahwa geliat warga Nahdliyin di sana sempat ramai pada tahun 2007-an. Pengajian juga seringnya menggunakan basis online, mengingat warga Nahdliyin tinggal berjauhan.
Setelah ngobrol dan sharing pengalaman, acara ditutup dengan pemberian piagam kepada kedua tamu. Kini warga Nahdliyin harus memikul tugas yang lebih berat, yaitu tidak hanya berkutat pada bidang teori, tetapi juga pada dimensi praktis dan berbasis pengalaman serta pengetahuan.
Sumber : NU Online
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah