ROMA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendapat kehormatan berbicara pada
Pertemuan Perdamaian Internasional yang digelar Komunitas Sant'Egidio
di Roma Italia, 29 September-1 Oktober 2013.
Sekretaris Jendral PBNU H Marsyudi Syuhud sebagai delegasi mempresentasikan makalah berjudul “Living in Harmony with Religious Diversity: Nahdlatul Ulama Perspective in Indonesia”. Makalah ini fokus pada penjelasan seputar data statistik keragaman suku, etnik, bahasa, dan agama di Indonesia, serta panerimaan NU terhadap Pancasila sebagai indeologi negara.
Menurut dia, untuk negara multikultural dan multikeyakinan seperti Indonesia, merawat keharmonisan masyarakat merupakan tugas berat. Modal utama yang bisa diandalkan, dalam pandangan NU, adalah pendekatan dialog melalui jalan moderasi (tawassuth), bukan kekerasan (tatharruf).
“Pancasila menjadi titik temu dalam menghadapi perdebatan sengit soal ideologi negara, antara mereka yang mengharapkan Indonesia menjadi negara sekuler dan mereka yang mengharapkannya sebagai negara agama lantaran berpenduduk mayoritas Muslim,” jelas Marsudi.
Dalam undangan disebutkan, Marsudi menyampaikan materi bersama sekitar 30 panelis dari sejumlah negara, seperti Majelis Konstituante Nasional Tunisia, Abdul Majeed Al-Najjar; Uskup Agung Katolik Aljazair, Ghaleb Bader; anggota Parlemen Malaysia, Anwar Ibrahim; Uskup Agung Katolik Maronit Lebanon, Paul Youssef Matar; serta Mufti Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina Husejin Smajic.
Pertemuan berskala internasional ini merupakan kali ke-27 sejak Hari Doa bersejarah tahun 1986 yang diinisiasi Beato Yohanes Paulus II, untuk menyebarluaskan "semangat Assisi" di negara-negara Eropa dan Timur Tengah, dalam rangka penegasan bahwa dialog merupakan solusi bagi masa depan perdamaian di semua tingkatan. (Mahbib Khoiron)
Sekretaris Jendral PBNU H Marsyudi Syuhud sebagai delegasi mempresentasikan makalah berjudul “Living in Harmony with Religious Diversity: Nahdlatul Ulama Perspective in Indonesia”. Makalah ini fokus pada penjelasan seputar data statistik keragaman suku, etnik, bahasa, dan agama di Indonesia, serta panerimaan NU terhadap Pancasila sebagai indeologi negara.
Menurut dia, untuk negara multikultural dan multikeyakinan seperti Indonesia, merawat keharmonisan masyarakat merupakan tugas berat. Modal utama yang bisa diandalkan, dalam pandangan NU, adalah pendekatan dialog melalui jalan moderasi (tawassuth), bukan kekerasan (tatharruf).
“Pancasila menjadi titik temu dalam menghadapi perdebatan sengit soal ideologi negara, antara mereka yang mengharapkan Indonesia menjadi negara sekuler dan mereka yang mengharapkannya sebagai negara agama lantaran berpenduduk mayoritas Muslim,” jelas Marsudi.
Dalam undangan disebutkan, Marsudi menyampaikan materi bersama sekitar 30 panelis dari sejumlah negara, seperti Majelis Konstituante Nasional Tunisia, Abdul Majeed Al-Najjar; Uskup Agung Katolik Aljazair, Ghaleb Bader; anggota Parlemen Malaysia, Anwar Ibrahim; Uskup Agung Katolik Maronit Lebanon, Paul Youssef Matar; serta Mufti Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina Husejin Smajic.
Pertemuan berskala internasional ini merupakan kali ke-27 sejak Hari Doa bersejarah tahun 1986 yang diinisiasi Beato Yohanes Paulus II, untuk menyebarluaskan "semangat Assisi" di negara-negara Eropa dan Timur Tengah, dalam rangka penegasan bahwa dialog merupakan solusi bagi masa depan perdamaian di semua tingkatan. (Mahbib Khoiron)
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah