TOKOH - Anggapan sebagian orang bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi
massa (ormas) Islam yang bercorak Jawa dan tersentralisasi di Pulau
Jawa patut diluruskan. Begitu pula dengan pameo yang menyebut bahwa
pimpinan ormas terbesar di Indonesia tersebut mesti berdarah Jawa,
terutama Jawa Timur, juga tidak tepat.
Doktor Kiai Haji Idham Chalid (88) yang menghembuskan nafas terakhir
pada Minggu pagi pukul0 8.00 WIB di Cipete Jakarta Selatan merupakan
fakta sejarah yang paling sahih untuk mematahkan berbagai penilaian
sepihak terhadap NU.
Ulama kharismatis NU tersebut bahkan telah menghilangkan dikotomi
Jawa non-Jawa dalam konteks politik nasional jauh-jauh hari sebelum
banyak pihak memperbincangkannya, yakni sejak tahun 1956 silam atau
hanya berselang sembilan tahun setelah kemerdekaan Indonesia.
Kiai Idham Chalid merupakan salah satu tokoh terbesar yang pernah
dimiliki bangsa Indonesia. Semasa hidupnya, beliau mencurahkan
pengabdian bagi bangsa ini melalui NU, ormas Islam terbesar di Indonesia
maupun dunia, yang ia geluti sejak masih usia kanak-kanak.
Kiai Idham yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat
Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak
sulung lima bersaudara dari H Muhammad Chalid. Saat usianya baru enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Idham tercatat sebagai tokoh termuda yang pernah memimpin NU. Idham
dipilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada
tahun 1956. Saat itu usia Idham baru 34 tahun. Sebuah catatan dan
prestasi yang fenomenal baik pada masa tersebut maupun masa kini.
Karir Idham di ormas yang didirikan ulama dan memiliki akar kuat baik
di pedesaan maupun di perkotaan tersebut terbilang sangat cemerlang.
Semasa kepemimpinan Idham di PBNU tidak pernah terjadi gejolak internal.
Selain itu kepemimpinan Idham di NU juga paling lama yaitu 28 tahun.
Idham menjabat ketua umum PBNU mulai tahun 1956 hingga 1984.
Sebagian kalangan mengatakan, bila tidak ada gerakan kembali ke
?khittah 1926? yang dimotori KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dkk, posisi
Kiai Idham sebagai ketum PBNU tidak tergantikan. Khittah menjadi senjata ampuh bagi poros Situbondo –istilah untuk
untuk menyebut gerakan yang dimotori Gus Dur– untuk melengserkan Kiai
Idham dari tampuk kepemimpinan di PBNU.
Gerakan Khittah tersebut sempat membuat NU terbelah dan menjadi dua
poros besar yaitu Situbondo dan Cipete. Istilah Cipete merupakan
kediaman Kiai Idham dan merujuk pada pendukung Kiai Idham yang saat itu
sangat banyak dan loyal.
Bukan darah biru
Idham Chalid merupakan tokoh besar bangsa Indonesia yang telah
memberikan teladan dan inspirasi. Beliau telah ikut meletakkan
dasar-dasar berbangsa dengan mewujudkan kebersamaan dan menghilangkan
dikotomi antara Jawa dan Luar Jawa.
Andil Idham dalam membangun tatasan kehidupan politik berbangsa yang
harmonis tanpa diskriminasi, tidak lepas dari keberadaan NU yang
menghargai egalitarianisme serta memberikan kesempatan yang sama bagi
semua kader untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi NU.
Selain memberikan kesempatan kepada Idham untuk menjadi ketua umum
PBNU pada tahun 1956, jauh-jauh hari sebelumnya NU sudah menghilangkan
jarak pemisah antara Jawa dengan Luar Jawa dengan menggelar Muktamar
ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 1936 atau sembilan tahun
sebelum Indonesia merdeka.
Penyelenggaraan Muktamar ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1936 serta
dipilihnya Idham Chalid menjadi ketua umum PBNU pada Muktamar ke-21 di
Luar Jawa, tepatnya di Medan, Sumatera Utara, semakin mengukuhkan posisi
NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia serta meminjam istilah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai jangkar strategis nasional.
Kepemimpinan Idham di PBNU selain berdampak positif bagi iklim
organisasi dengan mematahkan mitos Jawa dan Luar Jawa juga menghapus
mitos bahwa ketua umum PBNU harus memiliki darah biru. Darah biru merupakan istilah dalam NU, yang dapat diartikan sebagai
keturunan ulama besar yang terpandang. Dalam tradisi NU di Jawa,
biasanya dipanggil dengan sebutan Gus.
Uniknya, Idham selain bukan berasal dari Jawa juga bukan merupakan
anak ulama besar terpandang, bahkan di Kalimantan Selatan sekalipun. H
Muhammad Chalid, ayah Idham, hanya berprofesi sebagai penghulu di
pelosok Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Keluasan pergaulan, kemahiran retorika serta kepiawan dalam melobi
mengantarkan Idham sebagai tokoh besar pemimpin nasional baik di masa
Orde Lama maupun Orde Baru.
Dari bawah
Panggung politik baik dalam aras nasional maupun global banyak
dipengaruhi oleh faktor keturunan atau lebih dikenal dengan istilah
dinasti, tradisi fedalisme yang mewariskan kuasaan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Tradisi dinasti banyak ditemukan baik di Indonesia
maupun luar negeri. Bahkan di negara semodern Amerika Serikat pun masih
banyak ditemukan praktik dinasti.
Istilah dinasti tidak berlaku bagi Kiai Idham Chalid. Idham merupakan
sosok pemimpin yang terlahir secara alami dari bawah. Ia tidak
mengandalkan faktor dinasti maupun kekuatan materi, dua faktor
terpenting dalam berpolitik, dalam merintis karirnya yang panjang dan
cemerlang.
Idham menjadi pemimpin besar karena kapasitas personal, kegigihan
dalam perjuangan serta kemauan keras untuk memberikan sumbangsih terbaik
bagi bangsa dan agama.
Arif Mudatsir Mandan, tokoh PPP yang juga penulis buku “Napak Tilas
Pengabdian Idham Chalid” mencatat sosok Kiai Idham merupakan teladan
bagi generasi muda NU dan bangsa Indonesia. Beliau adalah sosok pemimpin
besar yang lahir dari bawah.
“Kiprah dan peran Idham Chalid tergolong istimewa. Ia bukanlah sosok
yang berasal dari warga kota besar. Ia hanyalah putra kampung yang
merintis karier dari tingkat yang paling bawah, sebagai guru agama di
kampungnya. Tapi kegigihannya dalam berjuang, dan kesungguhannya untuk
belajar dan menempa pribadi, telah mengantar dirinya ke puncak
kepemimpinan nasional yang disegani hingga kini, ujar Arif.
Kalangan pengamat politik Indonesia, banyak mencatat bahwa Idham
Chalid merupakan salah seorang dari sedikit politisi Indonesia yang
mampu bertahan pada segala cuaca.
Ia pernah menjadi Ketua Partai Masyumi Amuntai, Kalimantan Selatan,
dan dalam Pemilu 1955 berkampanye untuk Partai NU. Ia pernah pula
menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali-Roem-Idham, dalam usia
yang masih sangat belia, 34 tahun. Sejak itu Idham Chalid terus menerus
berada dalam lingkaran kekuasaan.
Di organisasinya, ia dipercaya warga nahdliyyin untuk memimpin NU di
tengah cuaca politik yang sulit, dengan memberinya kepercayaan menjabat
sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU selama 28 tahun (1956-1984).
Di samping berada di puncak kekuasaan pimpinan NU, ia juga dipercaya
menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI),
1956 – 1957. Saat kekuasaan Bung Karno jatuh pada 1966, Idham Chalid
yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu bertahan.
Presiden Soeharto memberinya kepercayaan selaku Menteri Kesejahteraan
Rakyat (1967 – 1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970 – 1971) dan
setelah itu Ketua MPR/DPR RI (1971 – 1977) dan Ketua DPA (1977 -1983).
Ketika partai-partai Islam berfusi dalam Partai Persatuan
Pembangunan, pada tanggal 5 Januari 1973, mantan guru agama Pondok
Pesantren Modern Gontor Ponorogo ini menjadi ketua, sekaligus Presiden
PPP.
Dari sisi wawasan keilmuwan dan kemahiran, sosok Idham Chalid dikenal
sebagai ulama yang mahir berbahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang.
Ia juga menyandang gelar doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar,
Kairo. Idham Chalid merupakan khazanah yang tak ternilai bagi bangsa
ini.
28 Tahun Memimpin NU tanpa Gejolak
KH Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU 1999-2010 mengemukakan kekagumannya
pada sosok Idham karena berhasil memimpin PBNU selama 28 tahun. Selain kagum, Hasyim juga mengaku ‘iri’ pada Idham, karena selama 28 tahun menjadi ketua umum PBNU tanpa ada gejolak berarti.
“Sebagai ketua umum PBNU, saya termasuk orang yang mengagumi beliau,
karena memimpin NU selama 28 tahun dan tidak ada gejolak dalam NU selama
beliau memimpin. Ini sangat sulit. Kalau saya, memimpin NU 8 tahun saja
ruwetnya bukan main,” katanya.
Dikatakannya, Kiai Idham Chalid juga telah berhasil membawa NU keluar
dari masa-masa pelik, bahkan genting saat Indonesia masih berusia muda
dengan dinamika politik yang luar biasa.
Pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai NU.
Selanjutnya, tahun 1955 yang penuh gejolak karena demokrasi liberal
berjalan selama 4 tahun dan tahun 1959 masuk dekrit presiden. Lalu tahun
1960 Bung Karno menjalankan Manipol Usdek yang berjalan 5 tahun sampai
tertengahan tahun 1966.
Suasana krisis juga belum berakhir karena terjadinya pergantian
kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Tahun 1967-1969, posisi NU justru
terjepit. Tahun 1971 pemilu yang pertama masa Soeharto dan NU sangat
berat karena dihajar habis oleh Golkar.
Dijelaskannya menyelamatkan jamaah NU yang yang sedemikian banyak
memerlukan kepribadian arif dan tangguh. Hasyim Muzadi menilia, “Orang
yang mengerti Pak Idham menyatakan beliau orang yang istikomah dalam
berbagai situasi, tetapi orang yang tidak cocok pasti mengatakan
oportunis, karena dari masa ke masa selalu mendapatkan tempat.”
Meskipun berbeda pandangan politik, Hasyim mengatakan Kiai Idham
tetap menjalin silaturrahmi dan ukhuwah dengan Buya Hamka.”Perbedaan
partai ini tidak mengurangi silaturrahmi dengan yang lain sehingga Pak
Idham dengan Buya Hamka. Ketidakharmonisan dalam bidang politik tidak
harus membuat pemimpin tidak harmonis dalam ukhuwwah,” imbuhnya.
Kiai Hasyim berharap keberhasilan KH Idham Cholid dalam memimpin NU
dapat menjadi pelajaran dalam mengembangkan NU ke depan agar semakin
jaya. “NU punya kemulyaan dan harus kita bangun kemuliaan baru ini
menyongsong masa depan, tandasnya memberikan semangat.
oleh Ahmad Fahir
Sumber : NU Online
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah