JAKARTA - Pada 29 Mei 2013, dilakukan kuliah-online melalui
tele-konferensi bertema “Pendidikan di Jerman’ kerjasama Institut Studi
Keislaman (Instika), Pesantren Annuqoyah, Guluk-Guluk Sumenep & NU
Cabang Jerman.
Kuliah umum menghadirkan pembicara Suratno, ketua tanfidziyah NU Jerman yang saat ini sedang melakukan riset untuk program Doktor Political Anthropology & Religion.
Muhammad Mushtafa, ketua panitia menjelaskan, kuliah online ini diikuti ratusan mahasiswi Instika dan santriwati Annuqoyah.
Selain untuk lebih mengenalkan pendidikan di Jerman, acara tersebut diharapkan memotivasi para mahasiswi dan santriwati tentang pentingnya mendapat pendidikan yang berkualitas dan kalau bisa didorong untuk bisa kuliah di Jerman.
Dalam paparannya, Suratno menjelaskan bahwa pemerintah Jerman menganut filosofi bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap orang yang ingin belajar. Oleh karena itu pemerintah Jerman memiliki kebijakan menggratiskan biaya pendidikan dari TK sampai perguruan-tinggi dan ini berlaku tidak hanya bagi orang Jerman tapi juga orang asing yang tinggal di Jerman.
Kebijakan baru dilakukan pada awal tahun 2005 ketika Mahkamah Konstitusi Jerman memutuskan bahwa pemerintah federal tidak lagi memiliki kewenangan untuk melarang negara bagian memberlakukan kebijakan uang sekolah/kuliah. Saat ini di beberapa negara bagian masih ada yang sekolah gratis, tapi ada juga yang membayar dengan besaran sekitar 200-500 euro per-semester.
Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pendidikan tiga jenjang SD-SLTP-SLTA, Jerman hanya memiliki dua jenjang pendidikan Pra Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dasar (Grundschule) dan pendidikan lanjutan (Gesamtschule) yang terdiri dari Gymnasium, Realschule dan Berufschule.
Perbedaan lain, di Indonesia SD bertingkat dari kelas 1-6 sementara di Jerman, SD diberikan dari kelas 1-4, berdasarkan pengalaman anaknya, Nihaya (9) yang saat ini duduk di kelas 3 Grundschule. Demikian pula, di Indonesia ada SLB (Sekolah Luar Biasa), di Jerman kelas-kelas SD bersifat inklusif, yaitu siswa berkebutuhan khusus dicampur dengan siswa pada umumnya. Bahkan di beberapa sekolah, kelas 1, 2, 3, 4 untuk beberapa bulan dalam satu tahun pelajaran juga di campur.
Di Indonesia siswa SD menerima banyak sekali pelajaran, di Jerman hanya sedikit. Nihaya hanya menerima pelajaran Matematika, Bahasa Jerman dan Inggris, Keterampilan, Musik dan Olahraga. Ada juga pelajaran agama tetapi sifatnya sukarela.
Tidak seperti di Indonesia yang di akhir semester siswa menerima raport dengan angka warna-biru atau merah sesuai hasil test, di Jerman akhir tahun siswa menerima Schulebescheinigung yang berisi 3 lembar penjelasan guru-kelas tentang proses belajar siswa.
Setelah menyelesaikan Grundschule 1-4, guru-kelas akan merekomendasikan siswa untuk melanjutkan ke Gymnasium, Realschule atau Berufschule sesuai dengan Schulebescheinigung masing-masing siswa dari kelas 1-4. Gymnasium diperuntukkan bagi siswa-siswa pandai yang dianggap mampu melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Jenjang ini ditempuh mulai dari kelas 7-13, dan setelah lulus mereka diberi ijazah yang dikenal sebagai “Abitur”. Jadi sebelum masuk ke perguruan tinggi, seorang siswa di Jerman menyelesaikan pendidikan pra-perguruan tinggi selama 13 tahun.
Berufschule diperuntukkan bagi siswa-siswa yang langsung dipersiapkan memasuki dunia kerja dan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan Realschule ada di tengah-tengah keduanya. Kalau dianggap bagus, siswa dari Realschule bisa meneruskan ke Gymnasium untuk mendapatkan Abitur, atau bisa juga langsung memasuki dunia kerja. Berufschule dan Realschule ditempuh mulai kelas 5-10.
Setelah mendapatkan Abitur, siswa langsung bisa mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi. Tidak ada tes masuk seperti SMPTN di Indonesia. Calon mahasiswa tinggal mengirimkan berkas lamarannya ke maksimal 5 universitas dan mereka akan langsung memutuskan berdasarkan nilai Abitur. Hal tersebut dimungkinkan karena pendidikan di seluruh Jerman memiliki kualitas yang sama dan merata. Sementara untuk calon mahasiswa yang tidak memiliki Abitur (alumni negara lain) wajib mengikuti Sprachkurse (Kelas bahasa Jerman, karena kuliah S1 di Jerman umumnya berbahasa Jerman sementara untuk S2 dan S3 cukup banyak yang berbahasa Inggris) dan Studienkollege (persiapan masuk universitas selama 1 tahun.
Ada dua jenis pendidikan tinggi di Jerman, yaitu Universitäs (UNI) dan Fachhochschule/Universitas Ilmu Terapan (FH). UNI lebih menekankan ke teori dan kepadanya diberikan tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Komposisi antara kuliah/teori dan praktek di UNI 60:40. Sebaliknya, FH lebih menitikberatkan ke aspek terapan, dengan komposisi kuliah/teori dan praktek 40:60. FH hanya memiliki program S1 dan S2. Sementara UNI memiliki program S1, S2, dan S3.
Suratno menjelaskan keunggulan utama pendidikan di Jerman adalah murah dan berkualitas. Program S3 yang dijalaninya hanya perlu membayar SPP 275 euro per semester, dengan fasilitas sebagai mahasiswa yang begitu banyak seperti gratis menggunakan alat transportasi di negara bagian (kereta RB, RE, S-Bahn, Trem, U-Bahn dan Bis), diskon 40% makan di mensa (kantin-kampus), diskon nonton film di Kino (bioskop), diskon mengunjungi museum dan taman, diskon nonton bola di stadion dan pertandingan olahraga lainnya, serta pertunjukan musik dan masih banyak lagi yang lainnya.
Universitas-universitas Jerman juga terkenal dengan kualitasnya baik di bidang teknologi, kedokteran, pertanian, sosiologi, antropologi, hukum, filsafat, ekonomi, politik, seni dan lainnya.
Goethe-Uni Frankfurt tempat Suratno belajar sangat terkenal dalam ilmu-ilmu sosial karena telah melahirkan mazhab Frankfurt dengan tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, Erich Fromm, Herbet Marcuse, Leo Lowenthal, Freidrich Pollock, Juergen Habermas, Axel Honneth, Rainer Forst dan lainnya.
Secara umum universitas-universitas Jerman tidak masuk 10 terbaik peringkat universitas dunia yang disusun lembaga-lembaga survey, terutama menurut Suratno, karena pemeringkatan tersebut salah satunya berdasar publikasi bahasa Inggris, sementara di Jerman banyak universitas dan pusat riset yang memang mensyaratkan publikasi mahasiswa, dosen dan penelitinya berbahasa Jerman.
Selain itu, Jerman merupakan negara maju yang menjadi leading-country di Eropa dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang olahraga selain terkenal dengan timnas sepak bolanya yang berprestasi di banyak turnamen, juga klub sepak bola Bundesliga (Liga Jerman) seperti Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund yang beberapa hari lalu merajai Eropa dengan menjadi finalis liga Champion Eropa 2013.
Suratno menjelaskan, selama studi di Jerman dia tidak hanya fokus dengan ‘pelajaran’ yang menjadi subjek risetnya, tetapi juga dengan pelajaran-kehidupan di Jerman seperti kemajuan ekonomi dan teknologi, juga dinamika politik, sosial, budaya, agama, olahraga dan lain sebagainya.
Redaktur: Mukafi Niam
Kuliah umum menghadirkan pembicara Suratno, ketua tanfidziyah NU Jerman yang saat ini sedang melakukan riset untuk program Doktor Political Anthropology & Religion.
Muhammad Mushtafa, ketua panitia menjelaskan, kuliah online ini diikuti ratusan mahasiswi Instika dan santriwati Annuqoyah.
Selain untuk lebih mengenalkan pendidikan di Jerman, acara tersebut diharapkan memotivasi para mahasiswi dan santriwati tentang pentingnya mendapat pendidikan yang berkualitas dan kalau bisa didorong untuk bisa kuliah di Jerman.
Dalam paparannya, Suratno menjelaskan bahwa pemerintah Jerman menganut filosofi bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap orang yang ingin belajar. Oleh karena itu pemerintah Jerman memiliki kebijakan menggratiskan biaya pendidikan dari TK sampai perguruan-tinggi dan ini berlaku tidak hanya bagi orang Jerman tapi juga orang asing yang tinggal di Jerman.
Kebijakan baru dilakukan pada awal tahun 2005 ketika Mahkamah Konstitusi Jerman memutuskan bahwa pemerintah federal tidak lagi memiliki kewenangan untuk melarang negara bagian memberlakukan kebijakan uang sekolah/kuliah. Saat ini di beberapa negara bagian masih ada yang sekolah gratis, tapi ada juga yang membayar dengan besaran sekitar 200-500 euro per-semester.
Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pendidikan tiga jenjang SD-SLTP-SLTA, Jerman hanya memiliki dua jenjang pendidikan Pra Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dasar (Grundschule) dan pendidikan lanjutan (Gesamtschule) yang terdiri dari Gymnasium, Realschule dan Berufschule.
Perbedaan lain, di Indonesia SD bertingkat dari kelas 1-6 sementara di Jerman, SD diberikan dari kelas 1-4, berdasarkan pengalaman anaknya, Nihaya (9) yang saat ini duduk di kelas 3 Grundschule. Demikian pula, di Indonesia ada SLB (Sekolah Luar Biasa), di Jerman kelas-kelas SD bersifat inklusif, yaitu siswa berkebutuhan khusus dicampur dengan siswa pada umumnya. Bahkan di beberapa sekolah, kelas 1, 2, 3, 4 untuk beberapa bulan dalam satu tahun pelajaran juga di campur.
Di Indonesia siswa SD menerima banyak sekali pelajaran, di Jerman hanya sedikit. Nihaya hanya menerima pelajaran Matematika, Bahasa Jerman dan Inggris, Keterampilan, Musik dan Olahraga. Ada juga pelajaran agama tetapi sifatnya sukarela.
Tidak seperti di Indonesia yang di akhir semester siswa menerima raport dengan angka warna-biru atau merah sesuai hasil test, di Jerman akhir tahun siswa menerima Schulebescheinigung yang berisi 3 lembar penjelasan guru-kelas tentang proses belajar siswa.
Setelah menyelesaikan Grundschule 1-4, guru-kelas akan merekomendasikan siswa untuk melanjutkan ke Gymnasium, Realschule atau Berufschule sesuai dengan Schulebescheinigung masing-masing siswa dari kelas 1-4. Gymnasium diperuntukkan bagi siswa-siswa pandai yang dianggap mampu melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Jenjang ini ditempuh mulai dari kelas 7-13, dan setelah lulus mereka diberi ijazah yang dikenal sebagai “Abitur”. Jadi sebelum masuk ke perguruan tinggi, seorang siswa di Jerman menyelesaikan pendidikan pra-perguruan tinggi selama 13 tahun.
Berufschule diperuntukkan bagi siswa-siswa yang langsung dipersiapkan memasuki dunia kerja dan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan Realschule ada di tengah-tengah keduanya. Kalau dianggap bagus, siswa dari Realschule bisa meneruskan ke Gymnasium untuk mendapatkan Abitur, atau bisa juga langsung memasuki dunia kerja. Berufschule dan Realschule ditempuh mulai kelas 5-10.
Setelah mendapatkan Abitur, siswa langsung bisa mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi. Tidak ada tes masuk seperti SMPTN di Indonesia. Calon mahasiswa tinggal mengirimkan berkas lamarannya ke maksimal 5 universitas dan mereka akan langsung memutuskan berdasarkan nilai Abitur. Hal tersebut dimungkinkan karena pendidikan di seluruh Jerman memiliki kualitas yang sama dan merata. Sementara untuk calon mahasiswa yang tidak memiliki Abitur (alumni negara lain) wajib mengikuti Sprachkurse (Kelas bahasa Jerman, karena kuliah S1 di Jerman umumnya berbahasa Jerman sementara untuk S2 dan S3 cukup banyak yang berbahasa Inggris) dan Studienkollege (persiapan masuk universitas selama 1 tahun.
Ada dua jenis pendidikan tinggi di Jerman, yaitu Universitäs (UNI) dan Fachhochschule/Universitas Ilmu Terapan (FH). UNI lebih menekankan ke teori dan kepadanya diberikan tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Komposisi antara kuliah/teori dan praktek di UNI 60:40. Sebaliknya, FH lebih menitikberatkan ke aspek terapan, dengan komposisi kuliah/teori dan praktek 40:60. FH hanya memiliki program S1 dan S2. Sementara UNI memiliki program S1, S2, dan S3.
Suratno menjelaskan keunggulan utama pendidikan di Jerman adalah murah dan berkualitas. Program S3 yang dijalaninya hanya perlu membayar SPP 275 euro per semester, dengan fasilitas sebagai mahasiswa yang begitu banyak seperti gratis menggunakan alat transportasi di negara bagian (kereta RB, RE, S-Bahn, Trem, U-Bahn dan Bis), diskon 40% makan di mensa (kantin-kampus), diskon nonton film di Kino (bioskop), diskon mengunjungi museum dan taman, diskon nonton bola di stadion dan pertandingan olahraga lainnya, serta pertunjukan musik dan masih banyak lagi yang lainnya.
Universitas-universitas Jerman juga terkenal dengan kualitasnya baik di bidang teknologi, kedokteran, pertanian, sosiologi, antropologi, hukum, filsafat, ekonomi, politik, seni dan lainnya.
Goethe-Uni Frankfurt tempat Suratno belajar sangat terkenal dalam ilmu-ilmu sosial karena telah melahirkan mazhab Frankfurt dengan tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, Erich Fromm, Herbet Marcuse, Leo Lowenthal, Freidrich Pollock, Juergen Habermas, Axel Honneth, Rainer Forst dan lainnya.
Secara umum universitas-universitas Jerman tidak masuk 10 terbaik peringkat universitas dunia yang disusun lembaga-lembaga survey, terutama menurut Suratno, karena pemeringkatan tersebut salah satunya berdasar publikasi bahasa Inggris, sementara di Jerman banyak universitas dan pusat riset yang memang mensyaratkan publikasi mahasiswa, dosen dan penelitinya berbahasa Jerman.
Selain itu, Jerman merupakan negara maju yang menjadi leading-country di Eropa dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang olahraga selain terkenal dengan timnas sepak bolanya yang berprestasi di banyak turnamen, juga klub sepak bola Bundesliga (Liga Jerman) seperti Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund yang beberapa hari lalu merajai Eropa dengan menjadi finalis liga Champion Eropa 2013.
Suratno menjelaskan, selama studi di Jerman dia tidak hanya fokus dengan ‘pelajaran’ yang menjadi subjek risetnya, tetapi juga dengan pelajaran-kehidupan di Jerman seperti kemajuan ekonomi dan teknologi, juga dinamika politik, sosial, budaya, agama, olahraga dan lain sebagainya.
Redaktur: Mukafi Niam
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah