Headlines News :
Home » » Lakpesdam NU Yaman Diskusikan Solusi Muslim Minoritas

Lakpesdam NU Yaman Diskusikan Solusi Muslim Minoritas

TARIM - Umat Islam terus berkembang di seluruh dunia. banyak diantara mereka hidup sebagai warga minoritas dan menghadapi sejumlah persoalan. Untuk menjawab tantangan Muslim minoritas, pada Jum'at, 19 Juli 2013 Lakpesdam PCI NU Yaman menggelar diskusi yang mengangkat tema "fiqh al-aqalliyat" atau fiqih minoritas menurut perspektif Ibn Bayyah.

Hadir sebagai narasumber Muhammad Mahrus Ali, rais syuriyah PCI NU Yaman sebagai didampingi Muhammad Hammam sebagai moderatornya. Acara tersebut dilaksanakan di musholla salah satu asrama putra Fakultas Syari'ah Universitas Al-ahgaff di Tarim.

Dalam penyampaiannya, Kang Mahrus mengatakan, sebenarnya fiqh al-aqalliyat adalah fiqh-fiqh sebagaimana yang telah dikenal sebelumnya, hanya saja dalam perkembangannya, ulama pada abad ke-14 banyak mempopulerkan fiqh tersebut dengan istilah fiqh al-aqalliyat atau fiqih minoritas yang kemudian dikukuhkan secara aklamasi pada abad setelahnya.

Di antara tokoh penggagas fiqh al-aqalliyat adalah Thaha Jabir Al Alwani dan juga Yusuf al-Qardlowi. Thaha bin Jabir menuangkan pemikirannya tentang fiqh al-aqalliyat dalam kitabnya yang berjudul Nazarat Ta'sisiyah Fi Fiqh Al-Aqalliyat, sedangkan Yusuf Qardlowi  sendiri menulis kitab Al-Aqalliyat al-Muslimat Hayat al-Muslimin Wasat al-Mujtama'atal-ukhra sebagai pedoman dasar serta aturan main dalam pengamalan fiqh al-aqalliyat bagi kaum minoritas. 
"Jadi sebenarnya fiqh al-aqalliyat ini adalah ismun jadid limusamma qodim, yakni fiqh terdahulu yang pada abad selanjutnya lebih dipopulerkan dengan istilah fiqh al-aqalliyat," tandasnya.

Sebagai satu istilah yang baru muncul, fiqh al-aqalliyat menjadi perdebatan dikalangan intelektual Islam. Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buhti misalnya, ia menganggap bahwa keberadaan fiqh al-aqalliyat sangatlah berbahaya. Bahkan menurut al-Buthi, pelegalan fiqh al-aqalliyat akan mengantarkan pada munculnya syariat baru. Sementara Tariq Ramadhan memiliki pandangan yang sangat berbeda. Cucu Hasan al-Banna ini justru menuduh fiqh al-aqalliyat merupakan produk yang "tanggung", mau membawa hukum Islam ke wacana global, tetapi tidak mau melepaskan ciri-ciri kearabannya.

Sedangkan menurut Ibn Bayyah, kemunculan fiqh al-aqalliyat tidak perlu ditakuti dan dicurigai. Sebab, fiqh al-aqalliyat memiliki tujuan dan dasar-dasar yang jelas dalam syariat Islam. Fiqh al-aqalliyat pada dasarnya tidak ada bedanya dengan cabang-cabang fikih yang lain. Ia juga dibangun berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’, Qiyas, Istishlah, Istihsan, dan dalil-dalil lain yang dijadikan pijakan oleh ulama-ulama Islam di dalam penggalian hukum. Hanya saja, memandang realitas yang dihadapi minoritas Muslim di tempat mereka tinggal.

Kemudian narasumber memaparkan contoh-contoh dari fiqh al-aqalliyat tersebut. Seperti keputusan Majelis Fatwa Eropa terkait dengan masalah hak waris orang Muslim dari keluarganya yang non Muslim. Berdasarkan hadits, “la yaritsu al-muslimu al-kafira wa la al-kafiru al-muslima”, Empat madzhab (madzahib al-arba’ah) sepakat bahwa orang Muslim tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang non Muslim. Namun, Majelis Fatwa Eropa, dengan berpijak pada pendapat Mu’adz bin Jabal, Mu’awiah bin Abi Shufyan, Said bin Musayyib, Muhammad bin Hanafiah, Abu Ja’far al-Baqir, Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim, memutuskan orang Muslim berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang non Muslim. Sementara hadits tersebut di arahkan kepada non Muslim harbi (al-kafir al-harbi).

Contoh lain, masalah seorang perempuan yang masuk Islam sementara si suami tetap pada agamanya yang lama. Menurut empat madzhab, perempuan tersebut setelah habis masa iddah secara otomatis tercerai dari suaminya. Namun, fiqh al-aqalliyat memperbolehkan perempuan tersebut tetap bersama sang suami dengan berpijak pada satu riwayat dari Umar bin Khotthab, Ali bin Abi Thalib, Ibrahim al-Nakhai, al-Sya’bi dan Hammad bin Abi Sulaiman.

Mengenai ayat 221 surat al-Baqarah tentang larangan menikah dengan lelaki musyrik, dikhususkan pada perempuan Muslimah yang hendak menikah dengan laki-laki non Muslim.

Beda halnya, jika dia menikah sebelum masuk Islam dan baru masuk Islam ketika sudah menikah maka diperbolehkan baginya tetap bersama seorang suami yang tetap pada agama lamanya. Hal ini, sesuai dengan kaidah fikih, yughtafaru fi al-dawam maa la yughtafaru fi al-ibtida’. Selaian dua contoh yang telah ia paparkan, narasumber pun memasukkan empat contoh lain dalam makalah yang sedang ia presentasikan. Pertama, hukum bermukim di negara non-Muslim. Kedua, pengaruh tempat terhadap hukum taklif. Ketiga, menjalin hubungan  baik dengan non muslim. Keempat, masalah hijab perempuan muslimah.

Setelah penyampaian meteri yang cukup detail dari narasumber, barulah dilanjutkan pada sesi diskusi interaktif yang langsung melibatkan peserta diskusi yang semuanya adalah mahasiswa aktif Universitas Al-Ahgaff Yaman.

Diskusi berjalan semakin menarik sebab semua peserta ikut serta dalam berjalannya diskusi, "Jika memang fiqh al-aqaliyat adalah untuk kaum minoritas, apakah ada kemungkinan juga dapat diterapkan meskipun dalam negara yang mayoritas berpenduduk muslim mengingat mungkinnya terjadi masyaqqoh yang sama?" ucap salah satu peserta dalam sesi diskusi.

Lontaran demi lontaran pertanyaan pun terus menghiasi berjalannya diskusi hingga setelah kurang lebih berjalan sekitar dua setengah jam berlalu akhirnya acara diskusi tersebut ditutup dengan pembacaan do'a serta ta'jil bersama.

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Rifqon Syauqi
Share this article :

0 comments:

Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.

Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah

 
||
||
PCNU KOTA BALIKPAPAN - KALIMANTAN TIMUR © 2013-2014 | ALL RIGHT RESERVED
Supported : Madinatul Iman Media Group and Maskoli