YOGYAKARTA - Selain penuh dengan keanekaragaman, Indonesia juga dipenuhi dengan
konflik-konflik. Di antara sekian banyak konflik tersebut, seringkali
dilakukan atas nama agama. Konflik penganut paham Syi’ah dan penganut
paham Sunni di kabupaten Sampang misalnya.
Merespon konflik yang terjadi di salah satu kabupaten di Pulau Madura itu, KH Malik Madani, Katib Aam PBNU pada Rabu (26/6) menyamaikan pentingnya menggunakan budaya Nusantara dalam menyelesaikan konflik-konflik di Nusantara. Akan tetapi menurutnya, sangat disayangkan budaya tersebut kian tergerus.
“Kita memang memiliki budaya yang kita warisi dari nenek moyang kita. Dan budaya ini digerus tidak saja oleh kelompok kecil seperti Syi’ah dan Ahmadiyah,” tuturnya pada acara Pra Munas Ikatan Alumni (IKA) PMII yang bertempat di Gedung Kunthi Wanitatama, Yogyakarta.
Pihaknya juga menyampaikan bahwa konflik yang mengatasnamakan agama itu disebabkan oleh pemahaman ulama terhadap pluralisme yang telah terdistorsi.
“Jangan-jangan memang sudah terjadi erosi, distorsi pemahaman ulama kita di Sampang tentang pluralisme,” ungkapnya.
Tak hanya itu, pihaknya juga mengajak para hadirin untuk lebih kritis mengkaji sumber-sumber normatif yang ada. “Jangan-jangan hadits yang mengatakan bahwa ummatku akan terpecah ke dalam 73 golongan dan hanya 1 golongan yang masuk surga, itu juga memicu terjadinya konflik ini,” ujarnya.
Pihaknya menambahkan pula bahwa sebagaimana yang tertera dalam kitab karangan Imam Al-Ghazali, terdapat hadits yang merupakan kebalikan dari hadits tersebut. Dan dia rasa bahwa hadits itu lebih dapat memberi dorongan untuk menerima perbedaan.
“Yang diperlukan sekarang adalah pencerahan. Bahwa kita harus terbiasa hidup dengan perbedaan. Kesediaan untuk hidup damai dalam perbedaan ini yang perlu disosialisasikan dalam masyarakat,” katanya, sambil menutup paparannya.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontriburor: Nur Hasanatul Hafshaniyah
Merespon konflik yang terjadi di salah satu kabupaten di Pulau Madura itu, KH Malik Madani, Katib Aam PBNU pada Rabu (26/6) menyamaikan pentingnya menggunakan budaya Nusantara dalam menyelesaikan konflik-konflik di Nusantara. Akan tetapi menurutnya, sangat disayangkan budaya tersebut kian tergerus.
“Kita memang memiliki budaya yang kita warisi dari nenek moyang kita. Dan budaya ini digerus tidak saja oleh kelompok kecil seperti Syi’ah dan Ahmadiyah,” tuturnya pada acara Pra Munas Ikatan Alumni (IKA) PMII yang bertempat di Gedung Kunthi Wanitatama, Yogyakarta.
Pihaknya juga menyampaikan bahwa konflik yang mengatasnamakan agama itu disebabkan oleh pemahaman ulama terhadap pluralisme yang telah terdistorsi.
“Jangan-jangan memang sudah terjadi erosi, distorsi pemahaman ulama kita di Sampang tentang pluralisme,” ungkapnya.
Tak hanya itu, pihaknya juga mengajak para hadirin untuk lebih kritis mengkaji sumber-sumber normatif yang ada. “Jangan-jangan hadits yang mengatakan bahwa ummatku akan terpecah ke dalam 73 golongan dan hanya 1 golongan yang masuk surga, itu juga memicu terjadinya konflik ini,” ujarnya.
Pihaknya menambahkan pula bahwa sebagaimana yang tertera dalam kitab karangan Imam Al-Ghazali, terdapat hadits yang merupakan kebalikan dari hadits tersebut. Dan dia rasa bahwa hadits itu lebih dapat memberi dorongan untuk menerima perbedaan.
“Yang diperlukan sekarang adalah pencerahan. Bahwa kita harus terbiasa hidup dengan perbedaan. Kesediaan untuk hidup damai dalam perbedaan ini yang perlu disosialisasikan dalam masyarakat,” katanya, sambil menutup paparannya.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontriburor: Nur Hasanatul Hafshaniyah
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah