CILACAP - Dalam lintasan sejarah, NU memiliki peran politik yang sangat
signifikan. Kenyataan ini dibuktikan dengan kiprah organisasi para kiai
ini dalam mempengaruhi kebijakan publik secara nasional maupun
internasional. Peran ini justru banyak terjadi ketika NU di luar jalur
partai.
Pandangan ini disampaikan Ketua PBNU H Imam Azis dalam sesi diskusi
Bahtsul Masail Nasional yang digelar Pengurus Pusat Lembaga Bahtsul
Masail NU (LBMNU) di Pondok Pesantren al-Ihya’ Ulumaddin Kesugihan,
Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (8/5) malam.
Imam menunjukkan fakta perjugan NU pra-kemerdekaan hingga menjelang
NU menjadi partai politik pada 1952. Saat itu para kiai mampu
mengintervensi kebijakan kolonial Belanda dan Jepang, hingga terlibat
dalam proses-proses menentukan pembentukan dan penyelenggaraan Republik
Indonesia bersama jaringan yang dimiliki.
”Jadi, kalau NU ingin berperan secara politik, jalurunya tidak harus
melalui partai,” tegasnya. Menurut Imam, NU pasca menjadi partai memang
memiliki kantong suara yang cukup menjanjikan, tapi, produktivitasnya
menurun hingga akhirnya kembali ke khittah pada 1984.
Di era demokrasi pascareformasi, lanjut Imam, NU berada di dalam
ancaman ”pusaran uang” yang sangat kencang. Independensi organisasi
sosial-keagamaan ini ditantang untuk konsisten menjadi motor perubahan
meski tanpa kendaraan partai. Di jalur non-partai, NU dapat memerankan
politik secara lebih luas.
”Artinya apa? Partai politik itu bukan keniscayaan bagi NU,” tuturnya.
Penulis: Mahbib Khoiron
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah