Oleh: HM Syarbani Haira
Ketua Tanfidziah PWNU Kalimantan Selatan
Ketua Tanfidziah PWNU Kalimantan Selatan
Dua
tahun lalu, Khairil Fuady, seorang mahasiswa UIN Jakarta mengirim
sebuah naskah untuk dikritisi, via inbox FB. Anak muda NU asal Hulu
Sungai ini membahas soal fenomena takfir.
Ia begitu galau dan
prihatin melihat kehidupan umat dewasa ini, yang begitu mudah bahkan
‘hobi’ mencap orang lain yang berbeda pandangan sebagai kafir. Secara
akademik, ia menyebutnya sebagai neo-khawarij.
Munculnya sebutan
neo-khawarij ini memang logis. Bagaimana pun, sejarah khawarij adalah
sejarah yang suka mengkafirkan orang lain. Tentu kita masih ingat,
bagaimana sejarah Islam, diwarnai konflik. Kejadian itu terjadi saat
Muawiyah bin Abi Sufyan --seorang Gubernur era khalifah Sayyidina Ustman
(radhiyallahu’anhu)-- berhasil membujuk rayu bahkan menipu Sayyidina
Ali bin Abi Thalib (karramallahu-wajha), dalam sebuah perundingan.
Belakangan diketahui, maklumat perundingan itu menguntungkan kelompok
Muawiyah bin Abi Sufyan, dan sekaligus merugikan kelompok Ali bin Abi
Thalib.
Inilah sesungguhnya awal munculnya firqoh dalam Islam,
yang hingga kini justru tumbuh subur. Salah satunya adalah kemunculan
khawarij. Kaum Khawarij memvonis dua orang sahabat Rasul itu sama-sama
kafir. Ali bin Abi Thalib dicap kafir karena sebagai khalifah mau
menerima hasil perundingan manusia dan tak bersandar dengan hukum Allah
SWT. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan dicap kafir karena telah
melakukan pengingkaran terhadap Ali bin Abi Thalib yang sudah disepakati
sebagai khalifah.
Dengan mensitir sejumlah ayat Alquran, secara
gegabah kaum Khawarij mencap siapa pun kafir jika memutuskan sesuatu tak
bersandarkan hukum Allah SWT. Menanggapi tudingan tersebut, Ali bin Abi
Thalib hanya berkomentar pendek: “kalimatul haqq uriidu bihaa al
baathil”, yang dalam konteks kekinian bisa dimaknai sebagai “kalimatnya
benar, tetapi digunakan untuk keperluan jahat”.
Ternyata, meski
sebagai faham Khawarij boleh dikatakan sudah mati tetapi muncul lagi
faham baru yang disebut kalangan akademisi, termasuk Khairi Fuady,
neo-khawarij. Hal ini karena semakin menguatnya gerakan trans-nasional
itu merasuki belahan bumi ini, khususnya di Indonesia. Ikon yang mereka
kumandangkan takfir, tidak kaffah dsb pada umat Islam lain yang tak
sejalan dengan ideologi mereka, baik urusan keagamaan, termasuk soal
kemasyarakatan dan kenegaraan (sosial, politik, ekonomi, budaya, dsb).
Tak
hanya itu, sebagian dari kelompok ini bahkan tak segan-segan melakukan
kekerasan, baik fisik atau psikis. Kejadian yang menimpa sosiolog UI
Thamrin Amal Tomagola saat dialog sebuah TV swasta bagian dari fenomena
itu. Belum lagi berbagai kekerasan seperti pengusiran, pembakaran atau
vonis “halal darah seseorang” karena berbeda pemikiran, dan sebagainya,
yang sewaktu-waktu bisa meledak di negeri ini.
Kaitannya dengan
puasa, kita tahu bulan puasa, bulan penuh berkah, penuh magfiroh. Dalam
hitungan waktu, puasa kita berada di tahun 1434 hijriah. Artinya, jika
dalam sejarah Islam kewajiban melaksanakan puasa dimulai tahun kedua
hijriah, maka ummat Islam pascakerasulan Muhammad SAW melaksanakan
ibadah puasa sudah 1433 bulan.
Puasa itu sendiri mengandung banyak
hikmah. Puasa memungkinkan seseorang semakin takwa, semakin meningkat
imannya, semakin tinggi rasa solidaritas dan kegotong-royongan, and last
but not least, tentu akan semakin arif dan bijaksana sikap perilakunya.
Inilah
hikmah utama puasa. Manusia akan semakin wisdom, semakin bijak, semakin
wise. Luar biasa memang puasa, yang diwajibkan bagi setiap kaum
muslimin ketika berada di Bulan Ramadan. Saya kerapkali mengamati
perilaku manusia di bulan ini, yang ternyata memang jauh lebih arif,
lebih bijak. Ini sesuai dengan janji Allah SWT, di mana di bulan ini,
semua setan dipasung dan pintu rahmat dibuka. Jika di Bulan Ramadan ini
masih saja ada kemunkaran, itu karena manusia itu sendiri sudah menjadi
“setan”.
Persoalannya seberapa jauh implikasi dari puasa itu telah
membentuk karakter umat manusia itu sendiri dalam perilaku sehari-hari,
baik menyangkut aspek keagamaan, aspek kemasyarakatan, bahkan aspek
kenegaraan, dalam kehidupan global? Mungkinkan pasca puasa perilaku
ummat akan semakin wise? Tidak lagi sarkastis pada orang lain?
Jika
alasannya berdakwah, karena itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim,
sebagaimana amanah Allah SWT : “hendaklah ada di antara kamu (kaum
muslimin) mengajak manusia lainnya menyeru kepada yang makruf dan
mencegah dari kemunkaran” (Ali Imran ayat 104), itu memang betul. Tetapi
konteks ayat ini harus disikapi dengan ayat lain, maksudnya : “ajaklah
manusia ke jalan kebenaran (Tuhannya) dengan hikmah dan pelajaran yang
baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula’ (An-Nahl ayat
125).
Kaum puritan, yang belakangan menjurus menjadi kelompok
radikal, harusnya mau menelaah ayat-ayat ini, karena sandaran mereka
selalu Alquran. Sehingga menjadi manusia beragama, akan menjadi wise.
Tak ada lagi fenomena takfir, yang dengan mudahnya dialamatkan pada
mereka yang beda tafsir dalam memahami agama. Kecuali memang secara
sengaja melencengkan ajaran agama, jauh diluar koridor yang
sesungguhnya.
Semangat inilah yang sesungguhnya akan kita bangun
di bumi pertiwi, Nusantara ini. Indonesia yang kini berpenduduk sekitar
245 juta jiwa lebih itu, catatan statistik menyebutkan sekitar 88 persen
muslim. Artinya, ini merupakan negeri terbesar di dunia ini berpenduduk
muslim, dan bisa jadi model pembangunan manusia di seluruh dunia.
Tentu
jika negeri ini mampu membangun citra sebagai negeri yang gemah ripah
loh jinawi, negeri yang aman damai (darussalam), yang menerapkan
sejumlah kaidah dengan semangat tawasuth (moderat), tasamuh dan tawazun
(seimbang), i’tidal (selalu lurus, konsisten). Model ini klimaknya
membangun wawasan kebangsaan berupa ukhuwah wathaniyah.
Momen
puasa inilah yang kita jadikan pondasi membangun umat, saling
menghargai, saling menghormati satu sama lain. Tak ada konflik, tak ada
saling ejek, saling menyalahkan, hanya karena berbeda keyakinan. Inilah
yang disebut demokratisasi, yang di Indonesia disebut dengan sebutan
demokrasi Pancasila, dimana prinsip utama musyawarah mufakat. Di sinilah
salah satunya substansi puasa, yang kita tunggu implementasinya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (*)
http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/07/23/munculnya-faham-neo-khawarij
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah