Oleh: Ust. Ainur Rofiq Al-Amin ( Dosen Politik Islam IAIN Surabaya; tinggal di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang)
Salah satu faktor determinan berlarutnya masalah Suriah adalah masuknya negara asing. Baik negara asing penyokong oposisi, seperti Amerika, negara Uni Eropa, serta Arab Saudi, Qatar, dan Turki; maupun negara asing pendukung rezim seperti Rusia, China, dan Iran.
Salah satu faktor determinan berlarutnya masalah Suriah adalah masuknya negara asing. Baik negara asing penyokong oposisi, seperti Amerika, negara Uni Eropa, serta Arab Saudi, Qatar, dan Turki; maupun negara asing pendukung rezim seperti Rusia, China, dan Iran.
Tidak hanya negara asing, Suriah menjadi destinasi “jihad” gerakan
Islam transnasional. Bisa disebut Jabhat al-Nusrah yang berafiliasi
dengan al-Qaidah yang ideologi alirannya masuk Wahabi. Banyak para
kombatannya dari berbagai negara Timur Tengah, bahkan dari Barat.
Demikian juga brigade Ansarul Khilafah dan afiliasinya. Hampir bisa
dipastikan, kelompok minoritas ini adalah simpatisan dan aktivis Hizbut
Tahrir.
Setelah terbentuknya Syrian National Council (SNC), kelompok oposisi
terbelah. SNC berupaya menumbangkan kediktatoran Basyar Assad. Sedang
kelompok Jabhah al-Nusrah yang akhirnya bergabung dengan Ansar
al-Khilafah menginginkan negara Islam atau negara Khilafah.
Tentu kelompok Islam transnasional ini berkontribusi besar dalam
gerakan bersenjata dan aksi bom bunuh diri. Perang di Suriah ini telah
memakan banyak korban mulai dari anak-anak, hingga tokoh besar
Ahlussunnah, Said Ramadhan al-Buthi. Bahkan yang ganjil, masjid ikut
diledakkan, serta mayat sahabat Nabi diambil jenazahnya oleh kelompok
Takfiri (NU Online 07/05/2013).
Konflik ini akan terus membara bila pihak asing tetap terlibat.
Terlebih lagi Barack Obama siap mengirim senjata ke oposisi (BBC News
2/04/2013), tidak ketinggalan Israel berupaya uji eksperimen dengan
pengeboman. Di pihak lain, pejuang Hizbullah yang mayoritas Syi’ah juga
mengirimkan pasukannya (Arabia MSN News 5/05/2013).
Kalau skenario di atas terus berjalan, konflik sektarian akan
terjadi. Beberapa minggu lalu, oposisi menghujani distrik Syiah di utara
Aleppo dengan mortir (Irib Indonesia 8/05/2013). Naifnya, para petempur
mengatasnamakan agama. Bahkan Abu Sakkar, pendiri kelompok brigade Umar
al-Farouq membelah dada tentara Syiria dan memakan jantung tentara
tersebut. Ini mengingatkan kepada Hindun yang memakan jantung Hamzah,
paman Nabi pasca perang Uhud. Naifnya lagi, sambil makan jantung, Abu
Sakkar mengajak bertakbir. Kalau perang atas nama agama untuk menegakkan
‘syariah’ ini terus terjadi, maka mereka mengamini tesis. A.N. Wilson
dalam bukunya "Against Religion: Why We Should Try to Live Without It?
bahwa agama adalah penanggung jawab terjadinya peperangan.
Terjadinya konflik sektarian ini setemali dengan saran RAND
Corporation dalam risetnya yang berjudul, “US Strategy in the Muslim
World after 9/11”. Rand Corporation menganjurkan kepada Amerika agar
mengeksploitasi perbedaan Sunni dan Syi’ah demi kepentingan Amerika di
kawasan.
Refleksi untuk Indonesia
Indonesia sebagai negeri dengan tingkat keragaman yang tinggi telah
sepakat dengan NKRI dan Pancasila. Secara historis, memang pernah
terjadi perdebatan sengit tentang dasar negara, Islam atau Pancasila.
Namun, akhirnya Pancasila yang dipilih.
Seiring era reformasi, kran kebebasan dibuka. Bertebaran ide, dan
gerakan, baik yang berbau Islam ekstrem, sekuler, dan liberal. Suatu hal
yang paradoks terjadi pada gerakan Islam transnasional.
Satu sisi, gerakan ini menentang ruh reformasi, kebebebasan dan
demokrasi. Bagi mereka, demokrasi adalah sebentuk kekufuran dan
kebid’ahan dalam Islam. Namun di sisi lain, justeru mereka menikmati
kebebasan. Suatu keberkahan yang mustahil mereka peroleh di mayoritas
negara Timur Tengah.
Lebih dari itu, paradoks lain yang memicu friksi adalah statemen
mereka yang memberi stigma negatif (bid’ah, sesat, dan kufur) terhadap
ritual dan tradisi mayoritas muslim nusantara. Tidak ketinggalan, mereka
juga mulai kembali mengotak-atik Pancasila dan NKRI.
Bisa diambil contoh Abu Bakar Ba’asyir dalam khutbah idul fithri
tahun 2012 mengatakan, NKRI sejak merdeka sampai sekarang adalah negara
kafir karena dasar negaranya ciptaan akal manusia dan hukum positifnya
adalah hukum jahiliyah. Ba’asyir menegaskan, penguasanya adalah thaghut
yang harus diingkari meski muslim yang sholat, puasa, zakat, dan haji.
Demikian juga aktivis dan simpatisan Hizbut Tahrir dengan nyaring
bersuara bahwa demokrasi adalah kufur, sistem negara selain khilafah
adalah ditolak Islam. Tentu salah satu targetnya adalah NKRI.
Doktrin-doktrin ini pasti punya efek negatif. Rasa nasionalisme tidak
ada, karena nasionalisme adalah haram (kitab Nizamul Islam). Demikian
pula support pembangunan tidak muncul, karena bekerja di instansi hukum,
maupun politik adalah haram mutlak . Akhirnya tidak mungkin mereka mau
menjadi hakim, jaksa, apalagi kepala pemerintahan. Tidak ketinggalan,
gerakan transnasional ini pasti mengalami benturan dengan masyarakat dan
ormas Islam yang lain.
Suatu saat, gerakan Islam transnasional tersebut akan berbenturan
hebat dengan negara Indonesia. Kalau di Indonesia terjadi gonjang
ganjing politik, sangat terbuka peluang bahwa gerakan ini pada fase
tertentu akan mengangkat senjata. Benih ini sudah terlihat dari gerakan
Salafi/Wahabi radikal yang di berbagai tempat melakukan aksi-aksi
kekerasan. Bahkan Hizbut Tahrir yang dalam metode dakwahnya anti
kekerasan (kitab Manhaj), namun ketika Suriah gonjing ganjing, mereka
bermetamorfosis, membentuk brigade bersenjata.
Mengindonesiakan Gerakan Islam Transnasional
Sudah seharusnya gerakan Islam transnasional merubah wajahnya menjadi
Indonesia, istilah KH. Hasyim Muzadi harus diindonesiakan dahulu.
Sehingga tidak sampai menabrak pilar NKRI dan pilar keragaman.
Dengan kata lain, semua kelompok boleh mengekspresikan pendapatnya. Tapi tidak boleh melintasi garis merah (red line), yakni otak-atik NKRI, dan obok-obok tradisi dan ritual muslim nusantara. []
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah