SLEMAN - Zaman sekarang ini sering disebut zaman edan. Gejala-gejalanya sudah
banyak ditemui, seperti maraknya orang-orang terhormat di negeri ini
yang terjerat kasus korupsi.
“Yang edan itu zamannya atau orangnya?”
Pertanyaan tersebut dilontarkan M. Jadul Maula, kiai sekaligus budayawan NU Yogyakarta, dalam mengawali pengajian panel yang diadakan oleh Pesantren Aswaja Nusantara, Jum’at (5/7) malam, pada acara haflah wat tasyakkur yang bertempat di halaman Pesantren Aswaja Nusantara, Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta.
Sosok yang akrab disapa Kang Jadul itu pun menjelaskan panjang lebar tentang apa itu zaman edan, dan apa yang seharusnya dilakukan para santri dalam menghadapi zaman edan.
Dalam Al-Qur’an, zaman atau waktu digunakan oleh Allah untuk bersumpah, yakni dalam ayat pertama surat Al-‘Ashr. “Mengapa waktu yang digunakan? Karena di dalam waktu terjadi banyak kemungkinan, seperti kesengsaraan dan kesenangan,” ujarnya.
Waktu dapat diibaratkan seperti ‘perasan’ kelapa yang dapat menghasilkan santan dan ampas. Dalam kehidupan, manusia diperas oleh waktu dalam berproses. Nanti hasilnya sebagai ampas atau santan, itu tergantung proses yang dilalui manusia tersebut dalam menjalani waktu.
“Hari ini, manusia yang kualitasnya seperti ampas lebih banyak daripada yang kualitasnya seperti santan. Itu artinya, orang jahat lebih banyak daripada orang baik,” paparnya dengan sedikit serius.
Ia mengibaratkan zaman edan seperti sebuah truk tronton besar yang melaju dari puncak yang tinggi. Ketika truk tersebut dibiarkan melaju, makan akan menabrak apapun yang ada di sekitarnya. Namun ketika direm pun, truk tersebut dikhawatirkan akan njungkel (terbalik).
Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh santri pesantren dalam menghadapi zaman edan tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Kang Jadul terlebih dahulu menjelaskan apa arti dari kata ‘santri’. Santri berasal dari kata ‘sastri’ yang berarti orang atau masyarakat yang mengkaji sastra. Adapun yang dimaksud dengan sastra dalam devinisi tersebut adalah kitab-kitab suci yang berisikan ajaran-ajaran agama. Pada zaman dahulu, tembang dan mocopat juga merupakan bagian dari sastra.
Menurut Kang Jadul, kitab-kitab tersebut berisikan nilai-nilai luhur yang harus diamalkan dalam kehidupan. Selain itu, di dalamnya juga terdapat pengajaran tentang hablun minallah dan hablun minannas, atau hubungan antara manusia dengan Allah dan sesama manusia.
“Keduanya bukanlah tali yang terpisah. Bukan pula seperti garis vertikal dan horizontal, melainkan tali yang sama dan berkesinambungan. Artinya, kalau hubungan dengan sesama manusia saja sudah jelek, maka hubungannya dengan Allah juga jelek. Nah, di zaman edan, keduanya sekarang terputus,” ungkap wakil ketua PWNU DIY tersebut.
“Jika saja santri sudah terkena gejala-gejala zaman edan, maka apa lagi yang akan menjadi obor penerang di zaman edan ini?,” ungkapnya dengan nada khawatir.
Menurut Kang Jadul, leluhur kita telah memiliki ajaran yang telah melekat pada waktu, dan menjadi cara dalam mendidik masyarakat, yakni melalui hari-hari ‘pasaran’; pon, wage, kliwon, legi dan pahing. Lantas, Kang Jadul pun menjelaskan tentang filosofi dan makna dari hari-hari tersebut.
“Pon atau sepupon artinya setiap manusia itu bersaudara dengan lainnya. Wage atau segawe artinya bekerjasama. Kliwon atau sak pawon artinya satu dapur, yang berarti kita harus berbagi. Legi yaitu sak margi atau satu jalan, artinya, walaupun berbeda agama dan suku, tetap satu tujuan. Pahing artinya sak iling atau satu keyakinan,” jelas Kang Jadul panjang lebar.
“Kalau kita kembali pada nilai-nilai tersebut, maka terbentuklah tataran masyarakat yang utuh, atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ini adalah salah satu kunci yang akan menyelamatkan santri dari zaman edan,” tambahnya.
Kang Jadul pun mengakhiri ceramahnya dengan mengutip kata-kata Ronggowarsito yang berbunyi: “Sak bejo-bejone wong lali, isih bejo wong kang ati-ati lan waspada”. Selain Kang Jadul, hadir pula Syekh Musthafa Mas’ud sebagai pembicara pada malam itu.
Redaktur : A. Khoirul Anam
Kontributor: Dwi Khoirotun Nisa’
“Yang edan itu zamannya atau orangnya?”
Pertanyaan tersebut dilontarkan M. Jadul Maula, kiai sekaligus budayawan NU Yogyakarta, dalam mengawali pengajian panel yang diadakan oleh Pesantren Aswaja Nusantara, Jum’at (5/7) malam, pada acara haflah wat tasyakkur yang bertempat di halaman Pesantren Aswaja Nusantara, Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta.
Sosok yang akrab disapa Kang Jadul itu pun menjelaskan panjang lebar tentang apa itu zaman edan, dan apa yang seharusnya dilakukan para santri dalam menghadapi zaman edan.
Dalam Al-Qur’an, zaman atau waktu digunakan oleh Allah untuk bersumpah, yakni dalam ayat pertama surat Al-‘Ashr. “Mengapa waktu yang digunakan? Karena di dalam waktu terjadi banyak kemungkinan, seperti kesengsaraan dan kesenangan,” ujarnya.
Waktu dapat diibaratkan seperti ‘perasan’ kelapa yang dapat menghasilkan santan dan ampas. Dalam kehidupan, manusia diperas oleh waktu dalam berproses. Nanti hasilnya sebagai ampas atau santan, itu tergantung proses yang dilalui manusia tersebut dalam menjalani waktu.
“Hari ini, manusia yang kualitasnya seperti ampas lebih banyak daripada yang kualitasnya seperti santan. Itu artinya, orang jahat lebih banyak daripada orang baik,” paparnya dengan sedikit serius.
Ia mengibaratkan zaman edan seperti sebuah truk tronton besar yang melaju dari puncak yang tinggi. Ketika truk tersebut dibiarkan melaju, makan akan menabrak apapun yang ada di sekitarnya. Namun ketika direm pun, truk tersebut dikhawatirkan akan njungkel (terbalik).
Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh santri pesantren dalam menghadapi zaman edan tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Kang Jadul terlebih dahulu menjelaskan apa arti dari kata ‘santri’. Santri berasal dari kata ‘sastri’ yang berarti orang atau masyarakat yang mengkaji sastra. Adapun yang dimaksud dengan sastra dalam devinisi tersebut adalah kitab-kitab suci yang berisikan ajaran-ajaran agama. Pada zaman dahulu, tembang dan mocopat juga merupakan bagian dari sastra.
Menurut Kang Jadul, kitab-kitab tersebut berisikan nilai-nilai luhur yang harus diamalkan dalam kehidupan. Selain itu, di dalamnya juga terdapat pengajaran tentang hablun minallah dan hablun minannas, atau hubungan antara manusia dengan Allah dan sesama manusia.
“Keduanya bukanlah tali yang terpisah. Bukan pula seperti garis vertikal dan horizontal, melainkan tali yang sama dan berkesinambungan. Artinya, kalau hubungan dengan sesama manusia saja sudah jelek, maka hubungannya dengan Allah juga jelek. Nah, di zaman edan, keduanya sekarang terputus,” ungkap wakil ketua PWNU DIY tersebut.
“Jika saja santri sudah terkena gejala-gejala zaman edan, maka apa lagi yang akan menjadi obor penerang di zaman edan ini?,” ungkapnya dengan nada khawatir.
Menurut Kang Jadul, leluhur kita telah memiliki ajaran yang telah melekat pada waktu, dan menjadi cara dalam mendidik masyarakat, yakni melalui hari-hari ‘pasaran’; pon, wage, kliwon, legi dan pahing. Lantas, Kang Jadul pun menjelaskan tentang filosofi dan makna dari hari-hari tersebut.
“Pon atau sepupon artinya setiap manusia itu bersaudara dengan lainnya. Wage atau segawe artinya bekerjasama. Kliwon atau sak pawon artinya satu dapur, yang berarti kita harus berbagi. Legi yaitu sak margi atau satu jalan, artinya, walaupun berbeda agama dan suku, tetap satu tujuan. Pahing artinya sak iling atau satu keyakinan,” jelas Kang Jadul panjang lebar.
“Kalau kita kembali pada nilai-nilai tersebut, maka terbentuklah tataran masyarakat yang utuh, atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ini adalah salah satu kunci yang akan menyelamatkan santri dari zaman edan,” tambahnya.
Kang Jadul pun mengakhiri ceramahnya dengan mengutip kata-kata Ronggowarsito yang berbunyi: “Sak bejo-bejone wong lali, isih bejo wong kang ati-ati lan waspada”. Selain Kang Jadul, hadir pula Syekh Musthafa Mas’ud sebagai pembicara pada malam itu.
Redaktur : A. Khoirul Anam
Kontributor: Dwi Khoirotun Nisa’
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah