Tanpa mesti buka kamus bahasa Indonesia, semua orang mengerti kitab.
Kitab merupakan buku bacaan. Sementara kuning adalah salah satu warna
yang serupa dengan warna emas murni atau warna kunyit. Setidaknnya
begitu dikatakan oleh kamus besar bahasa Indonesia.
Sedangkan kitab kuning lain lagi persoalannya. Kitab kuning boleh juga dipahami sebagai buku bacaan yang dipelajari kalangan pesantren atau masyarakat khususnya di Indonesia. Kitab kuning ditulis dengan bahasa Arab atau Arab pegon baik Melayu, Jawa, Sunda, dan lainnya.
Sedangkan kitab kuning lain lagi persoalannya. Kitab kuning boleh juga dipahami sebagai buku bacaan yang dipelajari kalangan pesantren atau masyarakat khususnya di Indonesia. Kitab kuning ditulis dengan bahasa Arab atau Arab pegon baik Melayu, Jawa, Sunda, dan lainnya.
Selain ulama Timur Tengah, para kiai di Indonesia juga produktif
dalam menulis. Mereka menulis dengan standar keilmuan yang tidak
diragukan. Mereka menulis dengan aneka tema, mulai dari fiqih, tafsir,
hadis, doa, ushul fiqih, tasawuf, aqidah, falak, dan bidang ilmu
lainnya.
Satu contohnya kitab Thariqathul Hushul fi Syarhi Ghayatil Wushul.
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab oleh Rais Am PBNU KHM Ahmad Sahal
Mahfudz. Kitab ini dicetak pertama oleh penerbit Dianatama Surabaya pada
tahun 2000/1421 H.
Kitab berisi 460 halaman ini berbicara ilmu Ushul Fiqih. Ia menguraikan kitab Ghayatul Wushul karya Syekh Abu Zakaria Al-Anshari.
“Kitab ini dipelajari di Pesantren Benda Brebes,” kata Syatiri Ahmad Ketua Pengelola Perpustakaan PBNU kepada NU Online di Perpustakaan PBNU, Kantor PBNU lantai dua, Jakarta Pusat, Jumat (15/3) siang.
Dalam pengakuanya, Syatiri mengatakan kitab itu menjadi sumber
referensi utama di salah satu universitas di Timur Tengah. Perihal ini
diungkapkan oleh seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di universitas
itu saat mengunjungi Perpustakaan PBNU.
“Selain patut diapresiasi, perihal ini juga dapat mendorong para kiai
Indonesia untuk lebih produktif dalam menulis kitab,” tambah Syatiri.
“Universitas itu adalah Jamiatul Quranul Karim di Sudan,” kata Biro Kerja Sama Beasiswa Timur Tengah PBNU Ahmad Ridho kepada NU Online di Kantor PBNU lantai tiga, Senin (18/3) petang.
Syatiri menyayangkan bahwa kitab itu belum dikaji di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Sejumlah alasan dapat dikemukakan. Pertama, keterbatasan jumlah cetak kitab itu. Kedua, kurangnya sosialisasi dari pihak penerbit. Ketiga, ketertutupan pesantren di Indonesia dalam menerima karya-karya ulama Nusantara.
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah