SLEMAN - Kunjungan 13 delegasi ulama Afganistan ke Pondok Pesantren Sunan
Pandanaran di Dukuh Candi, Desa Ngaglik, Kecamatan Sardonoharjo,
Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (18/9) malam, mendapat sambutan
meriah dari ribuan santri setempat.
Lantunan shalawat dan iringan musik rebana menggema saat rombongan baru saja turun dari bus. Di depan pintu gerbang, ratusan santri membentuk barisan pagar, menyapa para ulama yang berpakaian serba putih dengan rompi hitam dan penutup kepala khas Afganistan itu.
“Allahumma shalli ‘alam muhammad!” teriak satu dua orang di sela-sela kerumuman santri.
Ucapan ini secara spontan disahut ribuan santri dengan membaca shalawat lagi. Kompleks pesantren pun bergemuruh, “Allahumma shalli ‘alaih...!”
Pekikan shalawat ini berulang beberapa kali, mengiringi langkah rombongan delegasi menuju ke atas panggung. Dari arah panggung, ribuan santri berpakaian seragam tampak duduk bersila, menghampar di hadapan ulama Afganistan. Acara resmi dimulai setelah dua pembawa acara, masing-masing menggunakan bahasa Inggris dan Arab, membukanya dengan bacaan surat al-Fatihah.
Ketua rombongan delegasi Dr Fazal Ghani mengatakan, pihaknya merasa kagum dengan cara pesantren menyambut kehadiran mereka. “Ini sungguh super sekali. Malam ini saya akan tidur dengan bahagia,” obrolnya bersama rekan satu bus dalam perjalanan pulang ke sebuah hotel di Yogyakarta.
Pembacaan asmaul husna oleh para santri menutup acara silaturahim ini. Ketika rombongan berpamitan ribuan santri antusias meminta salaman. Namun tak semua keinginan itu terpenuhi. Rombongan ulama hanya bersalaman dan menciumi ratusan santri yang berdiri dan berjajar hingga puluhan meter di bibir jalan.
Kesan kekaguman juga muncul dari peserta rombongan lain. Mereka seperti mendapat pengalaman baru pada kunjungan pertamanya ini, baik ke pesantren maupun Indonesia. “Ini sangat menakjubkan,” kata delegasi lain," Dr Muhammad Sulaiman Nassary.
Nasar Ahmad, peserta rombongan yang lain, menjelaskan bahwa ada sejumlah perbedaan antara madrasah di Afganistan dengan pesantren di Indonesia, antara lain dari segi materi. “Kalau pesantren nuansa pendidikan tasawufnya sangat kental, sementara di sana (Afganistan) kebanyakan fokus di bidang fiqih,” paparnya. (Mahbib Khoiron)
Lantunan shalawat dan iringan musik rebana menggema saat rombongan baru saja turun dari bus. Di depan pintu gerbang, ratusan santri membentuk barisan pagar, menyapa para ulama yang berpakaian serba putih dengan rompi hitam dan penutup kepala khas Afganistan itu.
“Allahumma shalli ‘alam muhammad!” teriak satu dua orang di sela-sela kerumuman santri.
Ucapan ini secara spontan disahut ribuan santri dengan membaca shalawat lagi. Kompleks pesantren pun bergemuruh, “Allahumma shalli ‘alaih...!”
Pekikan shalawat ini berulang beberapa kali, mengiringi langkah rombongan delegasi menuju ke atas panggung. Dari arah panggung, ribuan santri berpakaian seragam tampak duduk bersila, menghampar di hadapan ulama Afganistan. Acara resmi dimulai setelah dua pembawa acara, masing-masing menggunakan bahasa Inggris dan Arab, membukanya dengan bacaan surat al-Fatihah.
Ketua rombongan delegasi Dr Fazal Ghani mengatakan, pihaknya merasa kagum dengan cara pesantren menyambut kehadiran mereka. “Ini sungguh super sekali. Malam ini saya akan tidur dengan bahagia,” obrolnya bersama rekan satu bus dalam perjalanan pulang ke sebuah hotel di Yogyakarta.
Pembacaan asmaul husna oleh para santri menutup acara silaturahim ini. Ketika rombongan berpamitan ribuan santri antusias meminta salaman. Namun tak semua keinginan itu terpenuhi. Rombongan ulama hanya bersalaman dan menciumi ratusan santri yang berdiri dan berjajar hingga puluhan meter di bibir jalan.
Kesan kekaguman juga muncul dari peserta rombongan lain. Mereka seperti mendapat pengalaman baru pada kunjungan pertamanya ini, baik ke pesantren maupun Indonesia. “Ini sangat menakjubkan,” kata delegasi lain," Dr Muhammad Sulaiman Nassary.
Nasar Ahmad, peserta rombongan yang lain, menjelaskan bahwa ada sejumlah perbedaan antara madrasah di Afganistan dengan pesantren di Indonesia, antara lain dari segi materi. “Kalau pesantren nuansa pendidikan tasawufnya sangat kental, sementara di sana (Afganistan) kebanyakan fokus di bidang fiqih,” paparnya. (Mahbib Khoiron)
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah