BERLIN - Pekan ketiga, Sabtu (27/7) kemarin, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul
Ulama (PCINU) Jerman bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Indonesia
(PPI) Jerman kembali menggelar rangkaian Pengkajian Ramadhan 1434 H.
Acara bertempat di kediaman Wakil Duta Besar KBRI Berlin, Dr. Siswo Pramono di kawasan Dahlem Berlin. Tema yang diangkat kali ini adalah Islam dan Konsep Negara-Bangsa: Fatwa-Fatwa Keagamaan di Indonesia.
Sebagai narasumber adalah Syafiq Hasyim, Rais Syuriyah PCINU Jerman yang juga kandidat doktor Studi-Islam di Freie-Universität Berlin. Acara pengkajian dihadiri oleh sekitar 70 orang dari berbagai unsur: pejabat KBRI Berlin, komunitas NU Jerman, aktivis PPI Jerman, masyarakat dan mahasiswa. Selain itu acara juga terhubung dengan jaringan-online ((www.livestream.com/nu_jerman) dan diikuti oleh puluhan peserta-oline lainnya di luar Berlin, bahkan di luar Jerman.
Syafiq Hasyim menjelaskan, diskursus ulama Indonesia tentang nation-state dapat dilacak dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, 10 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dalam muktamar itu, NU mencoba merespon perdebatan dalam masyarakat mengenai bentuk negara di masa mendatang.
Menurut Syafiq, para ulama NU mendiskusikan apakah negara masa depan berbentuk Dar al-Islam (Negara Islam) atau Dar as-Salam (negara kesejahteraan). Akhirnya muktamar NU tersebut mengambil keputusan bahwa negara Indonesia berbentuk Dar as-Salam di mana setiap warga negara diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran agamanya.
Syafiq melanjutkan bahwa fatwa ulama mengenai nation-state muncul kembali pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, di mana para ulama NU menegaskan komitmen mereka pada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan menerima asas tunggal Pancasila. Setahun kemudian, tahun 1985, ormas Islam Muhammadiyah dalam Sidang Tanwir di Surakarta juga mengamini hal yang sama; menegaskan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, setelah turunnya Suharto tahun 1998, Indonesia mengalami turbulensi politik yang dahsyat. Konsep negara bangsa kembali menjadi perdebatan publik. “Indonesia mengalami deregulasi politik,” sebut Syafiq. Merespon perkembangan dalam masyarakat, Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah final dan mengikat. Dalam hal ini, konsekwensinya menurut MUI, umat Islam wajib hukumnya menjaga keutuhan NKRI.
Dian Parluhutan, kandidat doktor di bidang hukum dari Freie-Universität Berlin saat menberikan tanggapan, mengatakan bahwa konsep negara-bangsa di Indonesia sebenarnya belum bisa dikatakan ideal, karena masih banyak hak-hak sipil warga negara yang belum tersentuh oleh peran negara.
Merespon pandangan Dian, Syafiq Hasyim menegaskan bahwa Indonesia sebagai bangsa memang masih dalam tahap the process of making (proses pembentukan) menuju yang ideal. “Ini yang harus kita kawal dengan cermat,” imbuh Syafiq.
Menurut Munir Ikhwan, koordinator acara, pengkajian yang dilaksanakan untuk menyemarakkan gema Ramadhan ini dimulai pada pukul 20.10 waktu Jerman dan berakhir dengan buka puasa bersama. Acara dimulai dengan dengan beberapa sambutan dari PCINU, PPI Jerman dan Duta Besar RI untuk Jerman.
Redaktur: A. Khoirul Anam
Sumber : PCINU Jerman
Acara bertempat di kediaman Wakil Duta Besar KBRI Berlin, Dr. Siswo Pramono di kawasan Dahlem Berlin. Tema yang diangkat kali ini adalah Islam dan Konsep Negara-Bangsa: Fatwa-Fatwa Keagamaan di Indonesia.
Sebagai narasumber adalah Syafiq Hasyim, Rais Syuriyah PCINU Jerman yang juga kandidat doktor Studi-Islam di Freie-Universität Berlin. Acara pengkajian dihadiri oleh sekitar 70 orang dari berbagai unsur: pejabat KBRI Berlin, komunitas NU Jerman, aktivis PPI Jerman, masyarakat dan mahasiswa. Selain itu acara juga terhubung dengan jaringan-online ((www.livestream.com/nu_jerman) dan diikuti oleh puluhan peserta-oline lainnya di luar Berlin, bahkan di luar Jerman.
Syafiq Hasyim menjelaskan, diskursus ulama Indonesia tentang nation-state dapat dilacak dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, 10 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dalam muktamar itu, NU mencoba merespon perdebatan dalam masyarakat mengenai bentuk negara di masa mendatang.
Menurut Syafiq, para ulama NU mendiskusikan apakah negara masa depan berbentuk Dar al-Islam (Negara Islam) atau Dar as-Salam (negara kesejahteraan). Akhirnya muktamar NU tersebut mengambil keputusan bahwa negara Indonesia berbentuk Dar as-Salam di mana setiap warga negara diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran agamanya.
Syafiq melanjutkan bahwa fatwa ulama mengenai nation-state muncul kembali pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, di mana para ulama NU menegaskan komitmen mereka pada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan menerima asas tunggal Pancasila. Setahun kemudian, tahun 1985, ormas Islam Muhammadiyah dalam Sidang Tanwir di Surakarta juga mengamini hal yang sama; menegaskan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, setelah turunnya Suharto tahun 1998, Indonesia mengalami turbulensi politik yang dahsyat. Konsep negara bangsa kembali menjadi perdebatan publik. “Indonesia mengalami deregulasi politik,” sebut Syafiq. Merespon perkembangan dalam masyarakat, Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah final dan mengikat. Dalam hal ini, konsekwensinya menurut MUI, umat Islam wajib hukumnya menjaga keutuhan NKRI.
Dian Parluhutan, kandidat doktor di bidang hukum dari Freie-Universität Berlin saat menberikan tanggapan, mengatakan bahwa konsep negara-bangsa di Indonesia sebenarnya belum bisa dikatakan ideal, karena masih banyak hak-hak sipil warga negara yang belum tersentuh oleh peran negara.
Merespon pandangan Dian, Syafiq Hasyim menegaskan bahwa Indonesia sebagai bangsa memang masih dalam tahap the process of making (proses pembentukan) menuju yang ideal. “Ini yang harus kita kawal dengan cermat,” imbuh Syafiq.
Menurut Munir Ikhwan, koordinator acara, pengkajian yang dilaksanakan untuk menyemarakkan gema Ramadhan ini dimulai pada pukul 20.10 waktu Jerman dan berakhir dengan buka puasa bersama. Acara dimulai dengan dengan beberapa sambutan dari PCINU, PPI Jerman dan Duta Besar RI untuk Jerman.
Redaktur: A. Khoirul Anam
Sumber : PCINU Jerman
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah