KUDUS - Menyikapi munculnya berbagai persoalan kebebasan beragama, pemerintah
diminta mengintensifkan upaya terciptanya suasana dialog yang kondusif
antar umat beragama. Pemerintah harus mampu menunjukkan perannya menjaga
kenyamanan masyarakat yang memiliki latar belakang ragam agama.
Demikian yang disampaikan pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Jawa Tengah Tedi Kholiludin pada seminar dan buka puasa bersama bertema Membumikan Islam Rahmatal lil Alamin; membendung Radikalisme dan Kekerasan atas nama agama di RM Bambu Wulung Kudus, Senin sore (29/7).
Tedi mengatakan dalam menyikapi konflik agama, proses dialog yang difasilitasi pemerintah tidak jarang diwarnai pengerahan massa sehingga tercipta ketidakseimbangan karena ada pihak yang merasa tertekan. Dalam proses dialog ini posisi negara harus terus berada pada rel-nya bersikap netral agama.
Aktivis Lembaga Studi Sosial – Agama (elSA) Semarang ini menambahkan tokoh-tokoh agama sebagai simpul-simpul masyarakat harus dilibatkan dalam proses-proses diseminasi ide-ide keagamaan yang toleran. Artinya kemampuan berdialog diantara pemuka agama harus diawali dengan memberikan pemahaman yang proporsional dengan melibatkan intitusi ini.
“Sangat penting untuk membekali mereka mengenal anatomi kelompo-kelompok dalam satu agama. Sebab, kerapkali terjadi proses generalissi terhadap satu kelompok agama yang diakibatkan oleh tidak adanya pemahaman terhadap beragamnya kelompok-kelompok dalam satu agama,”papar Tedi.
Tedi menyatakan pemahaman terhadap anatomi keagamaan yang ada dalam satu agama perlu dikenalkan juga kepada aparat penegak hukum. Dalam penilaiannya, selama ini aparat penegak hukum memiliki kelemahan dalam masalah pemahaman anatomi keagamaan sehingga terkadang melakukan generalisasi terhadap satu kelompok agama. Padahal banyak satu aliran agama dalam satu agama.
“Di sinilah, pentingnya membekali aparat penegak hukum dengan wawasan mengenal anatomi denominasi keagamaan,” kata mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Agama, UKSW Salatiga ini.
Di samping itu, kata dia, Forum Kerukunan Umat Beragama memiliki peran penting terutama dalam memberikan masukan kepada pemerintah terkait isu-isu agama. Di Jawa Tengah, FKUB selalu dilibatkan pemerintah untuk memberikan data mutakhir kasus agama. Mereka dianggap wakil yang absah dari seluruh komponen masyarakat agama.
Di depan ratusan peserta yang sebagian besar aktivis PMII ini, Tedi memaparkan latar belakang munculnya konflik bernuansa agama disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan pertama adanya penyiaran agama dengan syi’ar kebencian, provokasi, hasutan atau stigmatisasi.
“Penyebab kedua adalah dugaan penodaan agama seperti adanya fatwa sesat dari lembaga atau tokoh agama. Kemudian faktor pemahaman atau penafsiran agama dengan interpretasi yang parsial (memahami teks-teks keagamaan secara tidak menyeluruh),” terang Tedi.
Sementara faktor eksternal terjadinya konflik agama, papar Tedi, adalah adanya kebijakan pemerintah. Kebijakan yang menimbulkan konflik melalui tiga saluran yakni undang-undang yang diskriminatif (by judicial), pembiaran pelanggaran atas nama agama (by omission) dan tindakan kekerasan langsung anarkisme penegak hukum (by commision).
Di samping Tedi Kholiludin, seminar juga menghadirkan pembicara lainnya Dosen Unisnu Jepara dan IAIN Semarang Mashudi. Kegiatan seminar yang berlangsung setengah hari ini ditutup dengan buka puasa bersama.
Redaktur : Abdullah Alawi
Kontributor: Qomarul Adib
Demikian yang disampaikan pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Jawa Tengah Tedi Kholiludin pada seminar dan buka puasa bersama bertema Membumikan Islam Rahmatal lil Alamin; membendung Radikalisme dan Kekerasan atas nama agama di RM Bambu Wulung Kudus, Senin sore (29/7).
Tedi mengatakan dalam menyikapi konflik agama, proses dialog yang difasilitasi pemerintah tidak jarang diwarnai pengerahan massa sehingga tercipta ketidakseimbangan karena ada pihak yang merasa tertekan. Dalam proses dialog ini posisi negara harus terus berada pada rel-nya bersikap netral agama.
Aktivis Lembaga Studi Sosial – Agama (elSA) Semarang ini menambahkan tokoh-tokoh agama sebagai simpul-simpul masyarakat harus dilibatkan dalam proses-proses diseminasi ide-ide keagamaan yang toleran. Artinya kemampuan berdialog diantara pemuka agama harus diawali dengan memberikan pemahaman yang proporsional dengan melibatkan intitusi ini.
“Sangat penting untuk membekali mereka mengenal anatomi kelompo-kelompok dalam satu agama. Sebab, kerapkali terjadi proses generalissi terhadap satu kelompok agama yang diakibatkan oleh tidak adanya pemahaman terhadap beragamnya kelompok-kelompok dalam satu agama,”papar Tedi.
Tedi menyatakan pemahaman terhadap anatomi keagamaan yang ada dalam satu agama perlu dikenalkan juga kepada aparat penegak hukum. Dalam penilaiannya, selama ini aparat penegak hukum memiliki kelemahan dalam masalah pemahaman anatomi keagamaan sehingga terkadang melakukan generalisasi terhadap satu kelompok agama. Padahal banyak satu aliran agama dalam satu agama.
“Di sinilah, pentingnya membekali aparat penegak hukum dengan wawasan mengenal anatomi denominasi keagamaan,” kata mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Agama, UKSW Salatiga ini.
Di samping itu, kata dia, Forum Kerukunan Umat Beragama memiliki peran penting terutama dalam memberikan masukan kepada pemerintah terkait isu-isu agama. Di Jawa Tengah, FKUB selalu dilibatkan pemerintah untuk memberikan data mutakhir kasus agama. Mereka dianggap wakil yang absah dari seluruh komponen masyarakat agama.
Di depan ratusan peserta yang sebagian besar aktivis PMII ini, Tedi memaparkan latar belakang munculnya konflik bernuansa agama disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan pertama adanya penyiaran agama dengan syi’ar kebencian, provokasi, hasutan atau stigmatisasi.
“Penyebab kedua adalah dugaan penodaan agama seperti adanya fatwa sesat dari lembaga atau tokoh agama. Kemudian faktor pemahaman atau penafsiran agama dengan interpretasi yang parsial (memahami teks-teks keagamaan secara tidak menyeluruh),” terang Tedi.
Sementara faktor eksternal terjadinya konflik agama, papar Tedi, adalah adanya kebijakan pemerintah. Kebijakan yang menimbulkan konflik melalui tiga saluran yakni undang-undang yang diskriminatif (by judicial), pembiaran pelanggaran atas nama agama (by omission) dan tindakan kekerasan langsung anarkisme penegak hukum (by commision).
Di samping Tedi Kholiludin, seminar juga menghadirkan pembicara lainnya Dosen Unisnu Jepara dan IAIN Semarang Mashudi. Kegiatan seminar yang berlangsung setengah hari ini ditutup dengan buka puasa bersama.
Redaktur : Abdullah Alawi
Kontributor: Qomarul Adib
0 comments:
Tulis komentar dengan menggunakan kata-kata yang baik, jaga sopan-santun dan sertakan Identitas secara jujur.
Terima kasih atas pengertian Anda ! Junjung tinggi Akhlaqul Karimah